31.7 C
Banda Aceh

Katakan Tidak untuk Golput di Pemilu 2024

Oleh:
Sartika Rahayu
Jurnalis Warga

CBNPostSeingat saya, pemilu tahun 2019 lalu, banyak teman yang memilih tidak memilih alias golput (golongan putih), bahkan saya nyaris ikut golput karena terpengaruh mereka. Alasan mereka familier, karena jenuh dan apatis terhadap politik dan politisi yang menurut mereka tidak fair, hasilnya pun tidak memiliki andil pada kesejahteraan mereka.

Pemilu 2019 momen pertama kali saya memilih para calon legislatif, presiden dan wakil presiden dan juga pilkada karena saat itu usia saya memasuki 17 tahun. Saat itu saya juga berpikir, untuk apa saya memilih mereka? Toh, saya juga tidak kenal mereka, nantinya mereka juga tidak menemui saya yang telah memilih mereka ketika mereka terpilih.

Meskipun saya telah menggunakan hak pilih pada pemilu tahun 2019, saya masih belum mengerti tentang politik dan apa saja kebijakan serta dampak untuk masyarakat.  Saya hanya tahu bahwa anggota legislatif adalah individu yang mendapat mandat dari rakyat serta memiliki tugas dan wewenang untuk merumuskan undang-undang atau produk hukum yang ada di sebuah negara atau daerah. Lembaga legislatif berarti lembaga yang isinya adalah para legislator baik di tingkat DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Baca juga: Invisible Sword Oligarki

Mulai tahun 2022 ini, kita telah memasuki tahun-tahun politik untuk menyambut pesta demokrasi pada tahun 2024 mendatang. Sudah saatnya kita membuka mata terhadap politik. Kesejateraan atau kesengsaraan rakyat sangat tergantung pada siapa sosok pemimpin yang kita pilih. Masyarakat harus tahu dampak buruk apa yang akan terjadi ketika banyak orang memilih untuk golput. Golput akan memperbesar potensi manipulasi suara, pendapatan daerah yang terbuang sia-sia, tidak memiliki kontribusi terhadap demokrasi, tidak berkontribusi dalam pengembangan daerah, serta memungkinkan terpilihnya kandidat yang tidak baik.

Hak untuk memilih atau memberikan hak suara ketika pemilu atau pilkada merupakan hak politik setiap individu. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dijelaskan bahwa pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Sedangkan Islam meletakkan tanggung jawab kepada kaum muslimin untuk mengelola urusan mereka yang penting melalui prosedur musyawarah untuk menunjuk kepentingan dalam urusan agama.

Jika melihat kandungan undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan untuk golput, karena dalam undang-undang tersebut tidak disebutkan adanya pidana bagi seseorang yang tidak memilih. Namun, beda halnya jika seseorang mengajak atau menyuarakan untuk golput kepada orang lain, maka dapat ditindak pidana. Sedangkan menurut hukum Islam, golput tidak diperbolehkan atau tidak dibenarkan karena mengangkat pemimpin adalah suatu kewajiban.

Ajakan untuk golput dapat dipidana berdasarkan pasal 515 UU tentang Pemilu. Pasal itu berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak  pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan dengan denda paling banyak Rp36 juta”.

Lainnnya: Meninjau Politik secara Kaffah

Mengenai golput, saya sempat berbincang dengan Rustamin (50), seorang wiraswastawan yang tinggal di Desa Lhok Dalam, Kecamatan Alafan, Kabupaten Simeulue, Aceh. Menurut Rustamin, mereka yang memilih golput biasanya karena kecewa pada kinerja pemerintah. Mereka juga kecewa karena apa yang dijanjikan para caleg kepada masyarakat sebelum terpilih ternyata tidak ditepati setelah mereka duduk di kursi dewan.

Rustamin juga mengatakan, kebanyakan pelaku golput bukanlah penduduk asli di suatu daerah alias perantau. Mereka biasanya enggan pulang ke kampung halaman kalau hanya untuk mencoblos karena berbagai pertimbangan seperti waktu, tenaga, maupun biaya. Apalagi kalau kampung mereka cukup jauh dari tempat mereka berdomisili. Contohnya warga Simeulue yang berdomisili di Banda Aceh. Untuk sampai ke kampung halaman, mereka harus menempuh jalan darat selama seharian, ditambah naik kapal laut semalaman. Itu pun kalau cuaca sedang bersahabat. Jadi bisa dibayangkan betapa lelahnya mereka.

Namun, Rustamin mengatakan di Kabupaten Simeulue jarang dan sangat sedikit warga yang melakukan golput. Jika dilihat dari data pemilih tetap (DPT) di satu tempat pemungutan suara (TPS), jumlah pemilih tidak melebihi seribu orang, sehingga masih bisa untuk dikoordinir. Bahkan warga yang sakit pun masih bisa menggunakan hak pilihnya karena petugas pemilu memfasilitasi mereka dengan cara mendatangi kediaman masyarakat yang sakit dan didamping para saksi.

“Harapan saya ke depan, mudah-mudahan munculnya kesadaran yang tinggi serta meningkatnya kepedulian pemerintah kepada masyarakat terutama di sudut-sudut sosial, seperti kelompok lintas gender, kelompok rentan, kelompok disabilitas, dan kelompok sosial lainnya. Dengan demikian pemerintah dapat meminimalisir terjadinya golput dengan melakukan pendekatan dan merangkul serta mengedukasi masyarakat yang berpotensi golput agar dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik,” kata Rustamin saat berbincang lewat telepon  seluler.

Dari pernyataan Rustamin, saya teringat sejarah tentang golput di Indonesia. Kemunculannya berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda pada pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama pada zaman Orde Baru. Saat itu terjadi perlawanan terhadap sebuah partai, yang sekarang kita melihatnya masyarakat yang tidak percaya  terhadap pemerintah atau yang disebut dengan golput pragmatis.

Dosen UIN Ar-Raniry dan INISNU Lakukan Penelitian Dayah di Aceh

Pandangan mengenai bagaimana seharusnya kita menyikapi pemilu juga dikemukakan oleh Ketua Prodi Ilmu Politik UIN Ar-Raniry, Rizkika Lhena Darwin. “Mekanisme reward dan punishment harus dihidupkan kembali dalam pelaksanaan demokrasi elektoral. Reward dalam artian memilih kembali politisi dan/atau partai yang bekerja secara optimal dalam pemerintahan atau punishment yaitu tidak memilih kembali politisi dan atau partai yang sama dengan pemilu sebelumnya karena alasan lemahnya performance dalam pengambilan kebijakan,” katanya.

Setiap warga negara yang memberikan hak pilih kata Lena, pada dasarnya sedang berkontribusi untuk pembangunan bangsa, yaitu ikut serta memberi reward dan punishment pada setiap event pemilu yang berlangsung.

Sementara itu, Ketua Senat Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Irwandi, juga memberikan pandangannya terhadap golput dan pemilu pada tahun 2024 mendatang. “Pesta demokrasi 2024 sudah di depan mata, suara menentukan segalanya. Mari mengkaji untuk siapa suara kita beri, yang pasti untuk wakil rakyat serta pemimpin yang baik dan bijaksana. Golput bukanlah sebuah solusi, karena pilihan kita akan menentukan masa depan Indonsia.”

Penulis adalah anggota Jurnalis Warga Banda Aceh dan mahasiswi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry. Berasal dari Kabupaten Simeulu.

Berita menarik lainnya: DPR dan Delegasi P20 Komit Mengatasi Perubahan Iklim

 

Artikel Terkait

Artikel Terbaru